Senin, 19 Juli 2010

ILMU RIJAL AL-HADITS

Pendahuluan

Sebagaimana diketahui bahwa sanad itu ialah rawi rawi hadits yang dijadikan sandaran oleh pentakhrij hadits dalam mengemukakan suatu matan hadits. Nilai suatu hadits, sangat dipengaruhi oleh hal-hal, sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang dianutnya dan cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dari rawi.

Mengetahui hal-hal tersebut, perlu sekali, dan memeberi faedah yang sangat berguna. Seseorang penuntut ilmu hadits belum dianggap sempurna, jika belum mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad, disamping ilmu-ilmu yang berpautan dengan matan hadits, seperti ilmu Gharibil hadits, Asbabul wurud, Tawarikhul mutun, Ilalul hadits, dan lain sebagainya. Sebab sudah dimaklumi bersama, bahwa hadits itu terdiri dari matan dan sanad. Dengan demikian menguasai ilmu sanad berarti dapat mengetahui setengah dari ilmu hadits.

Pembahasan

A. Ta’rif Rijal al-Hadits

Ilmu Rijal al-Hadits ialah ilmu yang memepelajari sejarah perawi-perawi hadits yang berpegang kepada madzhab itu, dapat diterima atau ditolak riwayat mereka, dan pegangan –pegangan mereka, serta cara mereka menerima hadits. Menurut Drs. fathurrahman :






” Ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya, membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, dan tabi’ittabi’in ”
B. Perbedaan antara ilmu rijal alhadits dengan ilmu tarikh rijal, ilmu thabaqat, dan ilmu jarh dan ta’dil.

1. Ilmu sejarah perawi ( Tarikh Rijal ) ialah ilmu yang membahas tentang hari kelahiran dan wafat perawi. Dengan ilmu ini, kita dapat manetapkan kemuttashilan ( tersambung ) sanadnya atau kemunqathi’annya ( terputus ). Seorang perawi yang mengaku mendengar hadits dari seorang, tidak dapat kita tolak pengajuannya, terkecuali kalu kita mengetahui hari lahirnya ketika orang yang sebelumnya wafat.
2. Ilmu thabaqat ialah ilmu yang membahas tentang orang-orang yang berserikat dalam suatu urusan ( Orang-orang yang semasa dan sekerja ). Faedah mengetahui ilmu ini untuk membedakan antara orang-orang yang senama dan tidaklah disangka pada yang lain, hal ini diketahui dengan jalan umur dan pengambilan ( sama-sama berguru pada seorang guru )
3. Ilmu jarh wat ta’dil ialah ilmu yang dengannya dapat kita ketahui siapa yang diterima atau ditolak dari perawi-perawi hadits.

C. Keutamaan Sanad dan Kepentingannya

Sesungguhnya keutamaan sanad akan menentukan hasil hadits yang diperoleh darinya, dan hasil-hasil itulah yang sangat mulia dan sangat tinggi. Dengan sanadlah dapat kita ketahui hadits yang diterima dan yang ditolak, yang sah diamalkan dan yang tidak sah diamalkan. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum islam. Kebanyakan hukum-hukum dan penjelasan dalam al-Qur’an bersumber pada hadits-hadits yang kita peroleh sesudah mempelajari sanad. Sungguh banyak hadits – hadits yang dan atsar-atsar yang menerangkan keutamaan sanad.

Asyafi’y dan Al-Baihaqy meriwayatkan dari ibnu mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda :









” Mudah-mudahan Allah memperindah manusia yang mendengar haditsku, lalu dihafal, difahami dan disampaikan kepada orang lain seperti yang didengar, karena banyak orang yang mengaku hukum menyampaikan apa yang diketahui kepada orang yang lebih paham darinya. ”
D. Umat Islam sangat memperhatikan Sanad

Sanad merupakan tempat kembali dan pokok pangkal tasyri islami . Di dalamnya banyak berkisar hukum – hukum dan haditslah yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal . Karena itulah, ulama islam, terutama dipermulaan Islam memberi perhatian terhadap sanad. Perhatian yang besar ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang terdapat dalam kitab-kitab shahih dan kitab-kitab musnad,yaitu :





” Apakah telah aku sampaikan hendaklah orang yang hadir di antara kamu menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir. Kerapkali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham daripada yang mendengar sekarang ini.”

Dalam rangka mengancam orang yang merusak sanad atau berdusta membuat-buat sanad, Nabi SAW bersabda :





” Ceritakanlah apa yang kamu dengar dariku dan janganlah kamu katakan selain dari yang benar. Orang-orang yang menceritakan atas namaku apa yang tidak ku sampaikan, niscaya dibangunkan di dalam neraka untuknya, suatu rumah yang akan dijerumuskannya ke dalam tempat itu.”

Bentuk perhatian sahabat terhadap sanad adalah dengan menghafal sanad-sanad itu. Mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Sikap mencari benar tidaknya suatu riwayat telah dilakukan oleh Khulafa Rasyidin. Dengan perhatian mereka dan sahabat-sahabat besar yang lain, terpeliharalah hadits-hadits Rasul dari ahli bid’ah dan yang lainnya. Oleh karena itu semua imam hadits, berusaha pergi melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dikatakan sanad ’Ali. Sebagian sahabt, tabi’in dan tokoh-tokoh hadits yang besar seperti Bukhary dan Muslim dan yang lainnya melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk mencari hadits dan sanadnya.


Sa’id Ibn al-Musayyab berkata :



” Sesungguhnya aku berjalan bermalam-malam dan berhari hari hanya untuk mencari sebuah hadits”

Asy-Sy’abi berkata :



”Ambillah riwayat ini, tanpa ada sesuatu kesulitan, sesungguhnya orang-orang dahulu, melawat untuk mencari yang kurang daripada ini ke Madinah.”

E. Umat Islam sangat memperhatikan Sanad Hadits

Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat Islam. Abu Hatim ar-Razi berkata :




”Tidak ada dalam kalangan umat dahulu, sejak Allah jadikan Adam, orang-orang terpercaya, yang memelihara perkataan Rasul sebagaimana mestinya, selain umat Islam.”
Ibnu Hazm telah menandaskan bahwa nukilan orang yang terpercaya, hingga samapi kepada Nabi SAW, dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan yang Allah khususkan terhadap kaum Muslimin yang tidak diberikan kepada Umat yang lain. Jika sanad itu terputus-putus, dapat kita temukan dalam riwayat orang-orang Yahudi. Namun demikian, sanad mereka tidak juga sampai kepada Musa, sebagaimana kita kepada Muhammad. Mereka berhenti pada orang-orang yang di antara mereka dengan Musa masih terdapat 30 masa. Demikian pula halnya di dalam kalangan orang-orang Nasrani. Mereka tidak punya sanad-sanad yang muttasil, kecuali dalam masalah thalaq.

Dimaksudkan dengan khusus bagi umat ini ialah riwayat yang dihargai oleh ahli hadits, yaitu keadilan perawi dan kekuatan hafalannya. Umat Islam memperhatikan hal ini. Periwayatan yang tidak memperhatikan keadilan dan kebaikan hafalan perawi, itu terdapat di mana-mana. Bangsa Arab sebdiri mengahafal silsilah keturunan dewa-dewa mereka, dan pembesar-pembesar mereka dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

F. Definisi Thabaqat

Thabaqat ialah sekumpulan orang ( Suatu jamaah ) yang umurnya sebaya dan berserikat dalam menerima pelajaran dari seorang guru ( sama-sama belajar kepada seorang guru )

Para sahabat umpamanya, kalu kita menjuluki mereka dengan nama sahabat, atau mengingat persahabatan mereka dengan Rasul dan pergaulan mereka dengan Rasul, dapatlah mereka dikatakan satu thabaqat. Tetapi, jika dipandang dari sudut yang lain, seperti sama-sama berhijrah dari Makkah ke Madinah, dan lain-lain, maka semua mereka terdiri dari 5 thabaqat atau 12 thabaqat.

Diantara kegunaan mengetahui thabaqat ialah dapat mengetahui tadlis dan ’an’anah.

G. Sahabat dan Thabaqatnya

1. Ta’rif Sahabat

Sahabat menurut lughah, jama’ dari sahib itu diartikan : yang menyertai. Menurut ’urf, kawan atau teman yang selalu berada bersama-sama kita. Dan jamak kata shahib adalah shabhun, ashab, dan sahabah. Shahaby, menurut jumhur ahli hadits ialah :



” Orang yang bertemu dengan Nabi, ia beriman kepadanya dan mati dan keadaan Islam.”

Orang yang bertemu dengan Nabi SAW, namun dia belum memeluk agama Islam, tidak dipandang shahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang semasa dengan Nabi SAW dan beriman kepadanya, tetapi tidak menjumpainya, seperti an-Najasi ( Raja Habsy) atau menjumpai Nabi SAW setelah Nabi SAW wafat, seperti Abu Dzuaib.

Termasuk shahabat, jika dia tetap dalam keadaan beriman, sehingga dia wafat. Jika dia murtad setelah dijuluki dengan shahabat , hilanglah kesahabatannya, sehingga dia kembali beriman. Jika dia meninggal dalam kekafiran seperti Abdullah ibn Jahasy, maka hilanglah kesahabatannya itu.

Ditandaskan oleh Al-Hafidz bahwa pendapat yang paling shahih ialah ”shahaby” hanyalah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam Islam, baik dia bergaul lama dengan Nabi atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi SAW atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi, tetapi tidak duduk semajlis dengan Nabi SAW atau tidak dapat melihat Nabi karena buta.

Menurut Utsman Ibn Shalih bahwa yang dikatakan Shahaby ialah orang yang menemui masa Nabi SAW walaupun tidak dapat melihat Nabi SAW dan memeluk Islam semasa Nabi SAW masih hidup. Al-Jahid berpedapat bahwa shahaby ialah orang yang berjumpa dengan Nabi lama pula persahabatannya, dan juga dan juga meriwayatkan hadist beliau.

Penulis Asyhar Masyahir al-Islam mengatakan : ” Sesungguhnya, makna Shahaby yang diberikan oleh hadits, tidak disetujui secara lughat dan ’urf. Karena, jika dikatakan shahaby setiap orang yang melihat Nabi, walaupun tidak bergaul dengan Nabi, apakah sah dikatakan bahwa segala mereka yang melihat Nabi itu adalah orang terpercaya?”

Seluruh ahli hadits berpendapat bahwa seluruh shahabat adil, terpercaya. Kalau ta’rifnya sebagai yang tersebut, tidak dapat dipandang semua mereka yang melihat Nabi SAW itu adil, terpercaya. Tarikh telah menyatakan bahwa sebagian mereka yang melihat Nabi SAW telah melumuri atau menodai Islam.

Shahaby menurut lighat dan ’urf : ” Mereka sungguh-sungguh menyertai Nabi, seduduk sejalan dengan Nabi dalam sebagian waktunya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan yang sperti mereke keadaannya.”

Adapun orang Baduy yang hanya bertemu dengan Nabi SAW satu jam dua jam saja, tidak dapat ditetapkan bahwa mereka itu adil, orang tersebut kita beri nama Muslim saja.

Menurut Tengku Muhammad Hasby ashiddieqy yang dikatakan Shahaby adalah orang yang memiliki persahabatan dengan Nabi SAW persahabatan yang mesra yang timbul dari keimanan dan ketaatan. Maka orang yang mempunyai suhbah yang erta dengan Nabi SAW seperti Jarir al-Bajaly walaupun tidak lama dapat dikatakan shahaby.

2. Cara mengenal Shahabat

Untuk menggolongkan seseorang kepada shahabat, hendaklah menggunakan salah satu dari lima ketentuan ini :
a. Berita yang Mutawatir bahwa orang itu adalah shahabat Nabi SAW seperti Khalifah empat dan sepuluh shahabat yang diakui mendapat surga dan yang lainnya.
b. Ditetapkan dari khabar masyhur dan mustafidl yang belum sampai derajat mutawatir, seperti kesahabatan Dlamam bin Tsa’labah dan ’Ukasyah
c. Dibritakan oleh shahabat yang lain seperti keshahabatan Hamamah bin Hamamh ad-Dausy, yang meninggal di Isfahan.
d. Keterangan seorang tabi’iy yang tsiqah, bahwa yang diterangkan itu adalah seorang shahaby. Ini berarti pentazkiyahan dari seseorang yang tsiqah, diterima.
e. Pengakuan sendiri seorang yang dianggap adil di zaman Rasulullah SAW. Pengakuan ini di anggap sah selama tidak lebih dari seratus tahun kewafatan Rasulullah SAW berdasarkan isyarat Rasulullah.






” Apakah yang kau lihat pada malamu ini ? bahwa di setiap awal seratus tahun tidak seorangpun yang tinggal dari golongan orang yang sekarang ini(sahabat) di atas permukaan bumi.”( H.R Bukhary-Muslim)

3. Keadilan Shahabat

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil, baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat . Keadilan dalam hal ini adalah keadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian.

Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain, yakni ada yang adil dan ada pula yang tidak adil.

Golongan Mu’tazilah mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil selain mereka yang terlibat pada pembunuhan Khalifah Ali. RA.

Imam Nawawi mengatakan, bahwa pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu, pendapat yang mengahruskan penyelidikan keadilan shahabat, pendapat yang membedakan apakah terlibat dalam fitnah atau tidak dan lain sebagainya tidak perlu diperhatikan. Sebaiknya hendaklah berkhusnudzan kepada mereka agar terhindar dari dosa.

4.Shahabat-shahabat yang banyak meriwayatkan Hadits

Yang dimaksudkan banyak meriwayatkan hadits adalah shahabat-shahabat yang meriwayatkan hadits lebih dari 1000 hadits. Di antara mereka adalah :
- Abu Hurairah r.a. beliau meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits. Di antara jumlah tersebut 325 buah hadits disepakati oleh Bukhary dan Muslim, 93 hadits diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 189 hadist diriwayatkan oleh Muslim (infarada bihi Muslim )
- Abdullah Bin Umar r.a. beliau meriwayatkan hadits sebanyak 2630 hadits. Di antara jumlah tersebut, yang muttafaq alaih sebanyak 170 hadits, yang infarada bihi al-Bukhary sebanyak 80 hadits dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 31 hadits.
- Anas bin Malik r.a. Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 168 hadits, yang infarada bihi al-Bukhary sebanyak 8 hadits dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 70 Hadits .
- Ummul Mukminin ’Aisyah r.a.beliau meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW sebanyak 2210 hadits. Dari jumlah tersebut, 174 muttafaq ’alaih, 64 hadits infarada bihi al-Bukhary, 68 hadist infarada bihi Muslim.
- Abdullah Ibnu Abbas .r.a.Hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 1660 hadits. Dari jumlsh tersebut, yang Muttafaq ’alaih sebanyak 95 hadits, yang infarada bihi al-Bukhary sebanyak 28 hadits, dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 49 hadits.
- Jabir Bin Abdullah r.a. Hadits-hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 1540 hadits. Dari jumlah tersebut yang Muttafaq ’alaih sebanyak 60 hadits, yang infarada bihi al-Bukhary sebanyak 16 hadits,dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 126 hadits
- Abu Sa’id al-Khudry .r.a. Hadits-hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 1170 hadits. Dari jumlah tersebut, yang Muttafaq ’Alaih sebanyak 46 hadits, yang infarada bihi al-Bukhary sebanyak 46 hadits, yang infarada bihi Muslim sebanyak 52 hadits.

5.Jumlah Shahabat

Diriwayatkan oleh Bukhary dari Ka’ab ibn Malik bahwa jumlah sahabat Rasul banyak. Dan tidak dapat dikumpulkan oleh suatu kitab. Diwaktu Rasulullah SAW wafat, sahabatnya terdiri atas 144.000 orang. Ada yang meriwayatkan hadits darinya dan turut berhaji wada’ bersamanya. Semula mereka melihat Nabi SAW dan mendengar hadits beliau di Padang ’Arafah.

6. Thabaqat Shahabat

Ulama melihat kepada kemuliaan persahabatan dengan Nabi SAW seperti Ibnu Hibban dan lain-lain menjadikan semua sahabat dalam satu thabaqat. Ulama yang melihat kepada segi – segi yang lain, seperti halnya lebih dulu masuk Islam, dan menyaksikan pertempuran-pertempuran Rasulullah, menempatkan mereka beberapa thabaqat.

Penulis athabaqat, yaitu Muhammad Ibnu Sa’ad al-Baghdawi, cenderung kepada pendapat yang kedua. Para ahli hadits berbeda pendapat tentang thbaqat-thabaqat sahabat. Ibnu Sa’ad menhadikannya 5 thabaqat. Kemudian yang lain menjadikannya 12 thabaqat.
- Thabaqat Dua Belas
Thabaqat pertama,Sahabat yang masuk Islam pada permulaan Islam, seperti khulafaurrasyidin dan Bilal Bin Rabah.
Thabaqat kedua,Sahabat yang masuk Islam setelah orang quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah untuk mencelakakan Nabi SAW.
Thabaqat ketiga,Sahabat yang hijrah ke Habsyah, seperti Hatib Ibn Umar,Suhail Ibn Baidla,Abu Hudzaifah Ibn Utbah.
Thabaqat Keempat,Sahabat yang mengadakan bai’at pada Aqabah pertama. Seperti Rafi Ibn Malik, Ubadah Ibn Shamit, S’ad Ibn Zurarah.
Thabaqat Kelima, Sahabat yang mengadakan bai’at pada Aqabah kedua, seperti Bara Ibn Ma’mar, Jabir Ibn Abdullah,Abdullah Ibn Zubair,Sa’ad Ibn Khaitsamah.
Thabaqat keenam,Sahabat yang berhijrah ke Madinah dan diberi gelar Muhajirin sebelum Nabi memasuki Madinah, karena waktu itu Nabi Masih di Quba.
Thabaqat Ketujuh,Sahabat yang bertempur pada waktu perang Badar.
Thabaqat Kedelapan, Sahabat yang berhijrah ke Madinah setelah perang Badar,dan sebelum Hudaibiyah.
Thabaqat Kesembilan,Sahabat yang turut mengadakan Baitu Ridwan
Thabaqat Kesepuluh, Sahabat yang Hijrah ke Madinah setelahperdamaian Hudaibiyah, sebelum futuh Makkah.
Thabaqat Kesebelas,Sahabat yang masuk Islam ketika Futuh Makkah.
Thabaqat Kedua Belas,Anak-anak yang dapat melihat Nabi setelah futuh Makkah dan Haji Wada’

- Thabaqat Lima
Thabaqat Pertama, Badry, Sahabat yang turut pada perang Badar.
Thabaqat Kedua, Sahabat yang dahulu masuk agama Islam, yang kebanyakan berhijrah ke Habsyah dan menyaksikan perang uhud dan setelahnya.
Thabaqat ketiga, Sahabat yang dapat melihat perang Khandaq.
Thabaqat keempat, Sahabat yang masuk Islam pada waktu futuh Makkah dan sesudahnya.
Thabqat kelima,Anak-anak dan Budak-budak.

7. Sahabat yang dipandang paling utama

- Abu Bakar kemudian abu Hafsah Umar Ibn Khattab kemudian Utsman Bin Affan kemudian Ali Bin Abi Thalib.
- Sahabat sepuluh ( Sa;ad Ibn Abi Waqash, Sa’id ibn Zaid, Talhah Ibn Ubaidiyah,Az-Zubair Ibnal-Awwam, Abd Rahman Bin Auf, Ubaidah Ibn al-Jasrah.
- Sahabat yang menyaksikan perang Badar, perang Uhud,yang hadir di bait Ridwan di Hudaibiyah
8. Shahabat-shahabat yang banyak fatwanya

- Abdullah Bin Abbas r.a.
- Umar Bin Khattab Khattab r.a.
- Ummul Mukminin ’Aisyah r.a.
- Abdullah Bin Umar r.a.
- Abdullah Bin Mas’ud r.a
- Zaid Bin Tsabit r.a
- Ali bin Abi Thalib r.a.
Kemudian setelah sahabat yang tujuh tersebut, masih ada 20 orang sahabat yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok sahabat yang banyak fatwanya, kendatipun tidak sebanyak tujuh sahabat tersebut di atas.

9. Shahabat-shahabat yang mendapat gelar Abdilah

Imam Nawawi menerangkannya di dalam kitab at-Taqrib, halaman : 34 bahwa sahabat yang nama depannya dengan Abdullah itu ada 220 orang. Dari jumlah tersebut hanya empat orang saja yang mendapat gelar ” Abdillah ”. Mereka itu adalah :
- Abdullah Ibnu Umar r.a.
- Abdullah Ibnu Abbas r.a.
- Abdullah Ibnu Zubair r.a.
- Abdullah Ibnu Amr Bin Ash r.a.

10. Shahabat-shahabat yang mula-mula masuk Islam

Menurut penelitian Muhaqqiqin ( para peneliti ),bahwa orang yang pertama masuk Islam Khadijah r.a.

Ats-Tsa’laby menganggap, bahwa pendapat para Muhaqqiqin tersebut sudah menjadi Ijma’. Hanya saja yang masih menjadi perselisihan, ialah orang-orang sesudah Khadijah r.a.Kemudian Imam Nawawi mengklasifikasikannya sebagai berikut :
- Golongan laki-laki dewasa merdeka Abu Bakar r.a.
- Golongan Pemuda Ali Bin Abi Thalib
- Golongan Wanita Khadijah
- Golongan budak Zaid Bin Haritsah, budak pemberian khadijah, yang setelah dibebaskan oleh Nabi, terus diambil anak angkat.
- Golongan hamba sahaya Bilal,Ia masuk Islam disaat masih menjadi budak Ibnu Jad’an. Ia dan ibunya ditebus oleh Abu Bakar r.a. dan kemudian dibebaskan, hingga terlepas dari siksaan-siksaan tuannya semula.

11. Sahabat yang paling Kahir Wafatnya

- Sahabat yang paling akhir wafat Abu Thufail al-Litsi, wafat pada tahun 100 H,ada juga yang mengatakan tahun 102 dan 107 H.
- Sahabat yang terakhir wafat di Madinah As-Sa’id Ibn Yazi wafat pada tahun 80 H.
- Sahabat yang terakhir wafat di Basrah Anas Bin Malik, wafat pada tahun 93 H.
- Sahabat yang terakhir wafat di Makkah abdullah ibn Abi Aufa, wafat pada tahun 88 H.
- Sahabat yang terakhir wafat di Syam, Abu Umamah dan Sudai ibn ajlam al-Bahi
- Sahabat yang terakhir wafat di Mesir Abdullah Bin Harits Az-Zabidi, wafat pada tahun 89 H.
- Sahabat yang terakhir wafat di Thaif abdullah Bin Abbas
- Sahabat yang terakhir wafat di Barqah Ruwaifi ibn Tsabit al-Anshary, wafat pada tahun 66 H
- Sahabat yang terakhir wafat di Yamamah Al-Hirmas Ibn Ziyad al-Banil
- Sahabat yang terakhir wafat di Samarkhand Al-fadhIbn Abbas
- Sahabat yang terakhir wafat di Sijistan al-’Ada ibn Khalid Ibn Handa.

H. Tabi’in dan Thabaqatnya

1. Ta’rif Tabi’in

Tabi’iy pada asalnya berarti pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in ialah seluruh orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu dengan Nabi SAW dan tidak pula semasa dengan Nabi SAW. Ibnu Hajar Berkata :




” Tabi’iy itu orang yang menjumpai shahaby dalam keadaannya beriman dan mati dalam keadaan Islam”

2. Thabaqat Thabi’in

Ulama berbeda pendapat dalam pengelompokan tabi’in. Muslim mengelompokannya ke dalam 3 thabaqat. Ibnu Sa’ad mengelompokan ke dalam 4 thabaqat. Al-Hakim mengelompokan ke dalam 15 thabaqat.

3. Thabaqat Tabi’in Terakhir

Ialah yang berjumpa dengan Anas bin Malik di Basrah yang berjumpa dengan as-Sa’ib di Madinah, yang berjumpa Abu Umamah Shudai Ibn ’Ajlam di Syam, yang berjumpa dengan Abdullah ibn abi Aufa di Kufah,yang berjumpa dengan Abdullah ibn harits Az-Zabididi Mesir dan yang berjumpa dengan Abu Thufail di Makkah.

4. Thabi’in yang Paling Utama
- Menurut orang Madinah Sa’id Bin Musayyab
- Menurut orang Kufah Uwais al-Qorny
- Menurut orang Basrah Al-Hasan al-Bashary

I.Mukhadramin

Mukhadramin ialah orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemui Nabi dan mendengarkan hadits daripadanya. Dengan demikian Mukhadramin adalah sebagian tabi’in , bahkan menurut Ibnu Hajar, mereka tergolong tabi’in besar. Seperti Amru bin maimun, Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Su’aid bin Ghaflah, Suraij bin Hani dan lain-lain.

Imam Muslim mencatat jumlah Mukhadramin sebanyak 20 orang, Al-Iraqy mencatatnya sebanyak 42 orang dan Al-Hafidz ibnu Hajar dalam kitabnya Al-Isobah menghitung lebih dari jumlah-jumlah tersebut.

J. Al-Mawali

Ialah para rawi dan ulama yang semula asalnya Budak. Mengetahu Mawali ini juga termasuk hal yang tidak baik untuk diabaikan.

Orang yang memerdekakan budak disebut maula dan hak perwaliannya disebut wala’’ Hak wala’ ini kadang-kadang diperoleh karena :

1. Memerdekakan Budak
2. Janji Prasetia untuk tolong menolong
3. Mengislamkannya.

K. Penutup

Keberadaan Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an membawa banyak pemikiran untuk menjaga dan melestarikan kemurniannya agar tidak tercemar dengan usaha-usaha pemalsuan hadits, oleh karena itu begitu selektifnya persyaratan yang harus dipenuhi seorang Rawi. Dan dalam kerangka seperti itu, ilmu Rijalul Hadits menjadi salah suatu cabang Ilmu Hadits yang sangat dominan, sehingga muhaditsin berkata : setengan dari ilmu hadits adalah ilmu Rijal al-Hadits.

Wallahu’alam

Referensi

An-Nawawi , At-Taqrib , Maktabah Bahiyah, Mesir

Endanng Soetari, Ilmu Hadits –kajian riwayah dan dirayah- Mimbar Pustaka, Bandung 2008

Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, al-Ma’arif, Bandung, 1974

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,Pustaka Rizki Putra, Semarang 2009

Mahmud Thalhan, Taysir Musthalahul Hadits, Surabaya, 1985

Shalih Subhi, Ulum Hadits wa Musthalahuhu, Beirut, 1997

Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995

Minggu, 18 Juli 2010

ILMU HADITS

A. Pengertian Ilmu Hadits

Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Menurut ulama pengertian ilmu hadits adalah
هُوَ الْعْلْمُ بِأَقْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلْعَم وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَهَيْئَتِهِ وَشَكْلِهِ مَعَ أَسَانِيْدِهَا. وَتَمْيِيْزِ صِحَاحِهَا وِحِسَانِهَا وَضِعَافِهَا عَنْ خِلاَفِهَا مَتْنًا وَإِسْنَادًا.
“Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rosulallah saw. Beserta sanad-sanad (dasar penyandarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya dan kedla’ifannya daripada lainnya, baik matan maupun sanadnya”.
Ada juga yang mengartikan bahwa Ilmu Hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, definisi tersebut dikembangkan oleh para ulama mutaakhirin dengan mengklasifikasikan ilmu hadits menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

B. Pembagian Ilmu Hadits
1. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ نَقْلُ مَاأُضِيْفَ للنَّبِيِّ صَلْعَم قَوْلاً أَوْفِعْلاً أَوْتَقْرِيْرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُهَا.
“Suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa perkataa, perbuatan, ikrar maupun lain sebagainya”
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya
Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci.
Definisi yang hampir senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al-Hadits, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd Al-Aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
• Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
• Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Dengan demikian objek ilmu hadits riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu dewan hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Faedah memperlajari Ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Perintis pertama Ilmu Hadits Riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry yang wafat pada tahun 124 Hijriah.

2. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Dirayah atau disebut juga dengan ilmu Musthalahu’l-Hadits, yaitu :
أَلْقَانُوْنُ يُدْرَى بِهِ أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ وَكَيْفِيَّةُ التَّحَمُّلِ وَالادَاءِ وِصِفَةُ الرِّجَالِ وَغَيْرَ ذَلِكَ.
Undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.

Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Objek ilmu hadits ini adalah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matan). Adapun faedah atau tujuan ilmu ini adalah menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkan yang maqbul dan ditinggalkan yang mardud.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.


1. Pembahasan tentang sanad meliputi:
a. segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
b. segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
c. segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
d. keselamatan dan cacat (‘illat); dan
e. tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
2. Pembahasan mengenai matan adalah meliputi :
Segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya:
a. dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
b. dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
c. dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud (yang ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadits, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya.
Adapun diantara perintis ilmu hadits ini adalah :
1. Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahhurmuzy (wafat tahun 360) dengan kitabnya Al-Muhadditsu’l-Fasih
2. Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (wafat tahun 463) dengan kitabnya Al-Ilma
3. Abu Hafshin dengan kitabnya Maa Yasa’u’l-Muhadditsu Jahlalu
4. M. Mahfudh At-Tarmusyi dengan kitabnya Manhaj Dzawi’n-Nadhar
5. Imam Suyuthi dengan kitabnya At-Tadrib dan At-Taqrib
6. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany dengan kitabnya Nuhbatu’l-Fikar

Sabtu, 17 Juli 2010

MASALAH KURIKULUM SEKULER, ISLAMI DAN PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pengertian Kurikulum

Kalau diartikan secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu curriculum, yang berarti bahan pengajaran. Adapula yang mengartikan dari bahasa Prancis courier yang berarti berlari.

Kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.

Esensi dari kurikulum adalah program, yaitu program untuk dalam mencapai tujuan pendidikan. Pada umumnya kurikulum berisi nama-nama mata pelajaran beserta silabinya atau pokok bahasan, selain itu berupa nama kegiatan, dan jika berorientasi pada kompetensi maka kurikulum berisi daftar kompetensi serta indikator-indikatornya.

Dalam pemakaiannya sehari-hari kurikulum mengandung pengertian :

1. Kurikulum dalam arti sederet mata pelajaran pada suatu jenjang dan jenis sekolah

2. Kurikulum dalam arti silabus

3. Kurikulum dalam arti program sekolah

B. Pengertian Sekuler

Adapun istilah Sekularisasi berakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahas latin Seaculum artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Atau juga sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.

Dari berbagai di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu dari setiap pengeruh agama sebagai landasan berpikir.

C. Kerangka Ilmu Pengetahuan Sekuler

Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.

Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara sekularisasi dan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah duniawi dengan mengarahkan kecerdasan rasio.

Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya yang hanya didasarkan pada kebenaran akal saja. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.

Dari uraian panjang diatas, maka jika kurikulum dihubungkan dengan kerangka pengetahuan yang sekuler dapat diartikan dengan program-program, baik berupa mata pelajaran, silabus ataupun program sekolah yang didasarkan pada akal sebagai ukuran kebenaran yang menghasilkan pengetahuan bebas nilai (value free), yang tidak ada kaitannya dengan kebenaran yang didasarkan pada kebenaran agama.

D. Kerangka Keilmuan Islami

Pada hakikatnya pengetahuan dalam pandangan Islam memiliki kesatuan yang terintegrasi, sehingga tidak ada perlawanan dalam pengetahuan Tuhan. Artinya teori-teori yang di dapat dari mempelajari Al-Qur’an tidak mungkin berlawanan dengan teori-teori yang di dapat dari mempelajari Al-Kawn, sebab kedua-duanya merupakan teori dari Tuhan.

Pernyataan tersebut dapat dilihat dari kerangka sebagai berikut :


Ketika seorang ilmuwan muslim mengembangkan ilmunya, yaitu ilmu agama dan ilmu umum, tidak terpisah melainkan terintegrasi secara sempurna. Allah Swt. menyuruh manusia untuk membaca (إقرأ ) artinya mempelajari, mengkaji, meneliti ayat-ayat qur’aniah dan ayat-ayat kauniah. Karena Al-Qur’an berisi sekumpulan pengetahuan Allah yang ditulis dalam bahasa Arab. Ilmuwan memperoleh pengetahuan dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tadi dan bentuknya disebut dengan teori (dalam pengertian umum). Al-Kawn juga berisi kumpulan pengetahuan Allah Swt. dalam bentuk alam. Ilmuwan muslim memperoleh pengetahuan dengan cara mengkaji, meneliti gejala-gejala hukum alam dan bentuknya dapat dikatakan dengan teori (dalam pengertian umum). Sehingga melahirkan pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, pengetahuan mistik yang di dalamnya ada pengetahuan seni.

Pengembangan ke tiga jenis pengetahuan tadi adalah Pertama : Pengetahuan Sains berisi astronomi, Kimia, Fisika, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Ekonomi, Politik, Ilmu Kebahasaan, Etika, Seni, Fiqh. Kedua : Filsafat berisi ontologi, efistimologi, aksiologi, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam. Ketiga : Pengetahuan Mistik berisi tasawuf, Santet, pelet, saefi dan berbagai macam ilmu hikmah dan sebagian seni.

E. Kurikulum Pendidikan Indonesia

Permasalahan besar dalam pendidikan kita adalah kurang berhasil dalam menanamkan keimanan, padahal iman adalah pengendali manusia. Iman ada di dalam hati, jasmani sehat serta ditambah dengan akal cerdas serta pandai, amat berbahaya bila tidak dikendalikan oleh hati yang penuh keimanan.

Hati harus dibina dengan cara menanamkan iman di dalam hati, dan caranya ialah dengan cara menempatkan Tuhan dan mengusahakan agar hati itu dipenuhi Tuhan, Tuhan itu kebaikan dan bila Tuhan berada di dalam hati maka hati itu akan baik.

Dalam pendidikan nasional keimanan dan ketakwaan harus menjadi core, karena core Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, begiru juga dengan core UUD 1945 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa karena dalam UUD ’45 ada kata-kata “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Jadi penerapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merupakan pelaksanaan perintah Pancasila dan UUD ’45.

Konsep keimanan dan ketakwaan harus diturunkan ke dalam tataran operasional agar dapat menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa. Caranya adalah :

1. Membuat peraturan pelaksanaan Undang-Undang Sisdiknas yang terdiri dari Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri, dibuatkan JUKNIS (Petunjuk Teknis).

2. Membuat pedoman yang berisi konsep tentang prosedur teknis pelaksanaan keimanan dan ketakwaan sebagai lampiran SKM dan JUKNIS, dengan didasarkan bahwa pendidikan ketakwaan dan keimanan adalah core pendidikan nasional.

Karena keimanan dan ketakwaan adalah merupakan core sistem pendidikan nasional, maka pendidikan keimanan dan ketakwaan adalah merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen pendidikan, tidak hanya tugas guru agama, tapi mulai dari kepala sekolah, semua guru, semua aparat sekolah, orang tua murid dan intansi-intansi terkait. Dan guru agama hanya memikul sebagian saja dari tugas pendidikan keimanan dan ketakwaan, teutama segi pengetahuan dan keterampilan melaksanakan ajaran agama. Pendidikan keimana dan ketakwaan tidaklah sejajar dengan mata pelajaran lain, ia berada di atas mata pelajaran dan berfungsi sebagai core. Yang sejajar dengan mata pelajaran lain adalah mata pelajaran agama.

Jadi tugas utama seleruh elemen pendidikan adalah menanamkan keimanan dan ketakwaan. Iman dan takwa yang kuat akan memunculkan akhlak yang luhur artinya akhlak merupakan implementasi dari keimanan dan ketakwaan, karena akhlak basisnya iman dan pada pihak lain akhlak merupakan bagian dari agama bahkan intinya agama (Islam).

Diantara hal yang sangat penting dalam kurikulum adalah ditentukan oleh tujuan pendidikan, yaitu menghendaki terwujudnya manusia yang baik. Dengan demikian kurikulum harus berupa program untuk mengembangkan manusia agar menjadi manusia yang baik.

Indikator manusia yang baik harus didasarkan oleh semua agama, semua pandangan filsafat, semua manusia dan manusia yang baik adalah yang memiliki :

1. Akhlak yang baik, yaitu yang berdasarkan kepada iman yang kuat.

Akhlak diperlukan agar kehidupannya stabil, yang ciri utamanya adalah kemampuan untuk dapat mengendalikan diri tingkat yang tinggi, sehingga memiliki sifat sabar dan tahan banting, yaitu mempunyai Emotional Quotient (EQ)

2. Memiliki pengetahuan yang benar atau keterampilan kerja kompetitif

Pengetahuan dan keterampilansangat diperlukan untuk mengenali kebaikan dan untuk bekal bekerja dalam mencari penghasilan

3. Menghargai keindahan.

Artinya memiliki seni, yaitu sesuatu yang menyangkut keindahan, ini diperlukan untuk kesempurnaan hidup. Karena hidup akan dirasakan enak apabila kita dapat menikmati keindahan.

SUMBER

  1. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. 3, 2008.
  2. ___________, Ilmu Pendidikan dalam Presfektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. 8, 2008.
  3. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005
  4. Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, (Cet. II; Jakarta : balai Pustaka, 2002), h. 1015
  5. Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, Makassar : tp, 2000
  6. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Bogor : Kencana, 2003), h. 188




FILSAFAT PENDIDIKAN

CATATAN KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI

Secara etimologi, istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata philosophy (Inggris), falsafah (Arab), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis) yang bersumber dari istilah Yunani philosophia. Sedangkan dalam bahasa Yunani, philosophia dan philosophos merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan Sophia atau philo dan sophos; philo artinya cinta dalam arti yang luas yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; Sophia atau sophos artinya kebijakan atau kebijaksanaan, pengetahuan tertinggi dan hikmah yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Dari uraian istilah di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.

Secara epistimologi filsafat dapat diartikan dengan berbagai macam pengertian, karena sesuai dengan perkembangan pengertian filsafat itu sendiri. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dapat diambil definisi:
  1. Sifat seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak atau sifat orang yang ingin atau cinta kebijakan. Artinya kerja seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak atau bisa diartikan dengan reflectif thinking yaitu sebagai aktifitas pikir murni, atau kegiatan pikir manusia dalam usaha mengerti secara mendalam segala sesuatu. Ia merupakan daya atau kemampuan berfikir yang tertinggi dari manusia dalam usaha memahami kesemestaan.
  2. Latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intellectual curiosity), dengan menjawab pertanyaan yang tinggi (ultimate), yaitu pertanyaan yang belum memuaskan dan tidak dapat dijawab oleh sains.
  3. Produk kegiatan berpikir murni dan ia sudah berbentuk dalam suatu disiplin ilmu. Artinya sejenis pengetahuan yang mencari sebab segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauhmana yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
  1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
  2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
  3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu :
  1. Ontologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu); berupa pengetahuan tentang hahikat segala sesuatu;
  2. Epistimologi, membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat itu;
  3. Aksiologi membicarakan kegunaan pengetahuan filsafat.
Epistimologi filsafat membicarakan 3 (tiga) hal, pertama objek filsafat yaitu semua yang ada dan mungkin ada serta objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat. Kedua cara memperoleh pengetahuan filsafat, yaitu berpikir secara mendalam tentang sesuatu yang abstrak. Ketiga ukuran kebenaran filsafat, yaitu logis artinya ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar dan bila tidak logis berarti salah.

Aksiologi pengetahuan filsafat, artinya apa kegunaan filsafat itu ?, yaitu dengan melihat filsafat sebagai sekumpulan teori filsafat, fislafat sebagai metode pemecahan masalah dan filsafat sebagai pandangan hidup. Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia (world view).

Dalam kaitannya dengan pendidikan, filsafat memiliki makna sebagai pemikiran yang rasional, mendalam, sistematis, universal dan spekulatif tentang pendidikan. Karena pendidikan adalah memanusiakan manusia artinya membantu manusia menjadi manusia, maka secara garis besarnya filsafat pendidikan meliputi pemikiran mengenai bagaimana terhadap manusia, hubungannya dengan lingkungan, potensi yang dimilikinya, kemunginan-kemungkinann untuk dididik dan sebagainya.
Hubungan fungsional filsafat dengan teori pendidikan diantaranya :
  1. Filsafat dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan.
  2. Filsafat memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat. Artinya mengarahkan teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat.
  3. Filsafat mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu atau paedagogik.
Ada beberapa contoh persoalan kependidikan yang memerlukan analisa filsafat, antara lain :
1. Apakah hakikat pendidikan.
2. Apakah pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia
3. Apa tujuan pendidikan yang sebenarnya
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggungjawab terhadap pendidikan dan sampai dimana tanggungjawab tersebut.
5. Apakah hakikat pribadi manusia
6. Apakah hakikat masyarakat dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat
7. Bagaimana isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal
8. Bagaimana metode pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal
9. Bagaimana asas penyelenggaraann pendidikan yang baik.

Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu :
  1. Kegiatan merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya.
  2. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education).