Sabtu, 17 Juli 2010

MASALAH KURIKULUM SEKULER, ISLAMI DAN PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pengertian Kurikulum

Kalau diartikan secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu curriculum, yang berarti bahan pengajaran. Adapula yang mengartikan dari bahasa Prancis courier yang berarti berlari.

Kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu, dan dengan menguasainya seorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.

Esensi dari kurikulum adalah program, yaitu program untuk dalam mencapai tujuan pendidikan. Pada umumnya kurikulum berisi nama-nama mata pelajaran beserta silabinya atau pokok bahasan, selain itu berupa nama kegiatan, dan jika berorientasi pada kompetensi maka kurikulum berisi daftar kompetensi serta indikator-indikatornya.

Dalam pemakaiannya sehari-hari kurikulum mengandung pengertian :

1. Kurikulum dalam arti sederet mata pelajaran pada suatu jenjang dan jenis sekolah

2. Kurikulum dalam arti silabus

3. Kurikulum dalam arti program sekolah

B. Pengertian Sekuler

Adapun istilah Sekularisasi berakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahas latin Seaculum artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Atau juga sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.

Dari berbagai di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu dari setiap pengeruh agama sebagai landasan berpikir.

C. Kerangka Ilmu Pengetahuan Sekuler

Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.

Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara sekularisasi dan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah duniawi dengan mengarahkan kecerdasan rasio.

Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya yang hanya didasarkan pada kebenaran akal saja. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.

Dari uraian panjang diatas, maka jika kurikulum dihubungkan dengan kerangka pengetahuan yang sekuler dapat diartikan dengan program-program, baik berupa mata pelajaran, silabus ataupun program sekolah yang didasarkan pada akal sebagai ukuran kebenaran yang menghasilkan pengetahuan bebas nilai (value free), yang tidak ada kaitannya dengan kebenaran yang didasarkan pada kebenaran agama.

D. Kerangka Keilmuan Islami

Pada hakikatnya pengetahuan dalam pandangan Islam memiliki kesatuan yang terintegrasi, sehingga tidak ada perlawanan dalam pengetahuan Tuhan. Artinya teori-teori yang di dapat dari mempelajari Al-Qur’an tidak mungkin berlawanan dengan teori-teori yang di dapat dari mempelajari Al-Kawn, sebab kedua-duanya merupakan teori dari Tuhan.

Pernyataan tersebut dapat dilihat dari kerangka sebagai berikut :


Ketika seorang ilmuwan muslim mengembangkan ilmunya, yaitu ilmu agama dan ilmu umum, tidak terpisah melainkan terintegrasi secara sempurna. Allah Swt. menyuruh manusia untuk membaca (إقرأ ) artinya mempelajari, mengkaji, meneliti ayat-ayat qur’aniah dan ayat-ayat kauniah. Karena Al-Qur’an berisi sekumpulan pengetahuan Allah yang ditulis dalam bahasa Arab. Ilmuwan memperoleh pengetahuan dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tadi dan bentuknya disebut dengan teori (dalam pengertian umum). Al-Kawn juga berisi kumpulan pengetahuan Allah Swt. dalam bentuk alam. Ilmuwan muslim memperoleh pengetahuan dengan cara mengkaji, meneliti gejala-gejala hukum alam dan bentuknya dapat dikatakan dengan teori (dalam pengertian umum). Sehingga melahirkan pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, pengetahuan mistik yang di dalamnya ada pengetahuan seni.

Pengembangan ke tiga jenis pengetahuan tadi adalah Pertama : Pengetahuan Sains berisi astronomi, Kimia, Fisika, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Ekonomi, Politik, Ilmu Kebahasaan, Etika, Seni, Fiqh. Kedua : Filsafat berisi ontologi, efistimologi, aksiologi, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam. Ketiga : Pengetahuan Mistik berisi tasawuf, Santet, pelet, saefi dan berbagai macam ilmu hikmah dan sebagian seni.

E. Kurikulum Pendidikan Indonesia

Permasalahan besar dalam pendidikan kita adalah kurang berhasil dalam menanamkan keimanan, padahal iman adalah pengendali manusia. Iman ada di dalam hati, jasmani sehat serta ditambah dengan akal cerdas serta pandai, amat berbahaya bila tidak dikendalikan oleh hati yang penuh keimanan.

Hati harus dibina dengan cara menanamkan iman di dalam hati, dan caranya ialah dengan cara menempatkan Tuhan dan mengusahakan agar hati itu dipenuhi Tuhan, Tuhan itu kebaikan dan bila Tuhan berada di dalam hati maka hati itu akan baik.

Dalam pendidikan nasional keimanan dan ketakwaan harus menjadi core, karena core Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, begiru juga dengan core UUD 1945 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa karena dalam UUD ’45 ada kata-kata “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Jadi penerapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merupakan pelaksanaan perintah Pancasila dan UUD ’45.

Konsep keimanan dan ketakwaan harus diturunkan ke dalam tataran operasional agar dapat menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa. Caranya adalah :

1. Membuat peraturan pelaksanaan Undang-Undang Sisdiknas yang terdiri dari Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri, dibuatkan JUKNIS (Petunjuk Teknis).

2. Membuat pedoman yang berisi konsep tentang prosedur teknis pelaksanaan keimanan dan ketakwaan sebagai lampiran SKM dan JUKNIS, dengan didasarkan bahwa pendidikan ketakwaan dan keimanan adalah core pendidikan nasional.

Karena keimanan dan ketakwaan adalah merupakan core sistem pendidikan nasional, maka pendidikan keimanan dan ketakwaan adalah merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen pendidikan, tidak hanya tugas guru agama, tapi mulai dari kepala sekolah, semua guru, semua aparat sekolah, orang tua murid dan intansi-intansi terkait. Dan guru agama hanya memikul sebagian saja dari tugas pendidikan keimanan dan ketakwaan, teutama segi pengetahuan dan keterampilan melaksanakan ajaran agama. Pendidikan keimana dan ketakwaan tidaklah sejajar dengan mata pelajaran lain, ia berada di atas mata pelajaran dan berfungsi sebagai core. Yang sejajar dengan mata pelajaran lain adalah mata pelajaran agama.

Jadi tugas utama seleruh elemen pendidikan adalah menanamkan keimanan dan ketakwaan. Iman dan takwa yang kuat akan memunculkan akhlak yang luhur artinya akhlak merupakan implementasi dari keimanan dan ketakwaan, karena akhlak basisnya iman dan pada pihak lain akhlak merupakan bagian dari agama bahkan intinya agama (Islam).

Diantara hal yang sangat penting dalam kurikulum adalah ditentukan oleh tujuan pendidikan, yaitu menghendaki terwujudnya manusia yang baik. Dengan demikian kurikulum harus berupa program untuk mengembangkan manusia agar menjadi manusia yang baik.

Indikator manusia yang baik harus didasarkan oleh semua agama, semua pandangan filsafat, semua manusia dan manusia yang baik adalah yang memiliki :

1. Akhlak yang baik, yaitu yang berdasarkan kepada iman yang kuat.

Akhlak diperlukan agar kehidupannya stabil, yang ciri utamanya adalah kemampuan untuk dapat mengendalikan diri tingkat yang tinggi, sehingga memiliki sifat sabar dan tahan banting, yaitu mempunyai Emotional Quotient (EQ)

2. Memiliki pengetahuan yang benar atau keterampilan kerja kompetitif

Pengetahuan dan keterampilansangat diperlukan untuk mengenali kebaikan dan untuk bekal bekerja dalam mencari penghasilan

3. Menghargai keindahan.

Artinya memiliki seni, yaitu sesuatu yang menyangkut keindahan, ini diperlukan untuk kesempurnaan hidup. Karena hidup akan dirasakan enak apabila kita dapat menikmati keindahan.

SUMBER

  1. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. 3, 2008.
  2. ___________, Ilmu Pendidikan dalam Presfektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. 8, 2008.
  3. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005
  4. Tim Penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, (Cet. II; Jakarta : balai Pustaka, 2002), h. 1015
  5. Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, Makassar : tp, 2000
  6. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Bogor : Kencana, 2003), h. 188




Tidak ada komentar:

Posting Komentar